PEMBACA

Dari era Soeharto Hingga Era Jokowi, Inilah Penyebab Sepakbola Indonesia Susah Berkembang,

Kali ini, penulis akan membagikan pemikiran tentang satu topik yang sedang digandrungi oleh jutaan manusia di dunia, baik itu laki-laki maupun wanita, baik anak kecil sampai orang dewasa, yaitu sepak bola. Siapa di dunia ini yang tak mengenal olah raga indah satu ini, bahkan anak kecil umur 5 tahun bisa mengenal siapa itu Ibrahimovic, apa itu Manchester United, dimana itu Chelsea berada, dll. Sepak bola menjadi sebuah aspek yang sulit dihindarkan oleh manusia di jaman sekarang, khususnya anak-anak muda. Kali ini, penulis akan menulis tentang tema itu. Eittss, bukan tentang sepak bola internasional pastinya, tapi tentang sepak bola domestik, sepak bola Indonesia.

Untuk kalangan masyarakat Indonesia sendiri, sepak bola Indonesia menjadi bukan sekedar primadona, melainkan sebuah harapan bahwa timnas sepak bola Indonesia bisa masuk Piala Dunia. Beberapa bulan lalu, publik Indonesia disuguhkan dengan penampilan timnas U-19 yang berlaga di Piala Asia U-19 walaupun pada akhirnya harus pulang dengan tangan hampa lantaran gagal meraih poin cukup untuk melaju ke babak berikutnya. Publik Indonesia bisa berbangga hati melihat permainan tim U-19 dan berharap Timnas Indonesia senior bisa terpacu melihat usaha para juniornya berlaga di pentas Piala Asia. Penulis cukup optimis bahwa Timnas Senior bisa membanggakan di ajang Piala AFF bulan Desember mendatang, namun untuk saat ini, penulis melihat bahwa sepak bola Indonesia menjadi sulit berkembang dan terkesan jalan di tempat. Di tulisan ini, penulis akan menyampaikan beberapa ide mengapa sepak bola Indonesia sulit berkembang versi penulis.
1. Sistem liga yang masih berubah-ubah
Sistem liga di sebuah negara menjadi salah satu tolok ukur utama bagi persepakbolaan negara tersebut. Sistem yang terstruktur dan teroganisir menjadikan liga menjadi ajang untuk para pemain lokal unjuk kebolehan dalam mengolah si kulit bundar. Sistem liga yang terstruktur dan teroganisir juga menjadikan liga lebih kompetitif dan akan muncul bibit-bibit pemain muda lokal yang menonjol. Bibit-bibit pemain lokal inilah yang bisa menjadi harapan sebuah negara akan persepakbolaan yang baik dan maju. Lihat saja Brazil! Brazil mempunyai sebuah sistem liga yang baik dan dari sanalah, pemain besar sekelas Romario, Pele, Ronaldo de Lima, dan Neymar muncul. Inggris juga memiliki hal yang sama. Inggris sudah dikenal dengan struktur liga yang rapi dan terogranisir, bahkan mereka mampu menghelat 3 kompetisi sekaligus dalam satu musim (BPL, FA, dan Capital One Cup). Sistem liga yang baik dan menetap membuahkan pemain hebat seperti Beckham, Lampard, Gerrard, dan Terry. Di Indonesia, sistem masih berubah-ubah dan tidak menentu. Musim ini memakai struktur 2 wilayah, musim kemarin menggunakan sistim tabel, dan seterusnya. Ini tidak memungkinkan bagi para pemain lokal untuk unjuk kebolehan karena mereka belum bisa mengira-ngira latihan macam apa dan lawan seperti apa yang akan dihadapi dalam musim depan, sebagai contoh: Persib, di babak awal, musim ini mereka menghadapi lawan dari wilayah barat dimana mereka akan bebas dari tim-tim jempolan dari wilayah timur sekelas Persipura, PSM, dll. Dalam satu musim, mereka bisa melenggang bebas untuk ke babak berikutnya karena mereka mempelajari di masa latihan pra-musim taktik lawannnya di wilayah barat seperti Persija, Sriwijaya, PBR, dll. Ini menjadikan liga kurang kompetitif dan berimbas pada moral pemain, khususnya pemain muda, untuk menunjukkan permainan pada level mumpuni. Belum lagi membahas tentang jadwal pertandingan yang masih bersifat acak. Ini menjadikan kondisi pemain juga tidak menentu. Bandingkan dengan negara lain semisal Inggris atau Italia yang mereka menentukan bahwa pertandingan liga diadakan di hari Sabtu dan Minggu.
2. Sistem Keuangan Klub
Sistem Keuangan Klub yang masih mengandalkan APBD menjadi sebuah ganjalan tersendiri bagi pesepakbolaan Indonesia. Kita mungkin sering mendengar beberapa klub di sepak bola Indonesia menunggak gaji para pemain lantaran sumbangan dana dari APBD belum turun. Ini menjadikan moral pemain untuk bertanding dalam level tertinggi ikut surut karena kepastian akan hasil jerih payah mereka di lapangan masih simpang siur. Pada akhirnya, pemain akan ogah-ogahan bertanding dan menjadikan liga menjadi tidak kompetitif. Lalu, dari liga yang tak kompetitif, akan sulit menemukan bibit-bibit unggul lokal yang menonjol. Mungkin persepakbolaan Indonesia bisa meniru bagaimana klub-klub di Inggris, Italia, Jerman, Prancis dan Spanyol mengelola keuangan mereka. Mereka mencoba mencari sponsor sebanyak-banyaknya dan berusaha mengolah keuangan sebaik mungkin sehingga tak ada pemain atau pihak klub yang dirugikan. Dari pengelolaan keuangan inilah, pada akhirnya, para pemain termotivasi juga untuk bermain pada level teratas. Mungkin memang sedikit agak jauh, tapi dampak dari sistem keuangan klub juga berimbas pada pemain, klub, dan liga itu sendiri.
3. Sistem pembinaan usia dini di sepakbola yang belum mumpuni
Kita mungkin mengenal La Masia, sekolah sepakbola Barcelona yang berhasil menelurkan sejumlah nama tenar abad ini semisal, Messi, Andres Iniesta, Xavi, Pique, dan Victor Valdes. Tak kalah, klub-klub sepakbola di negara-negara amerika latin pun ikut melakukannya. Terbukti, Neymar dan Pele menjadi sebuah didikan emas dari akademi sepak bola Santos atau Diego Armando Maradona yang tersohor merupakan didikan akademi Newell’s Old Boys di Argentina. Dari beberapa contoh diatas, kita bisa melihat bahwa sistem sekolah sepak bola memiliki banyak andil dalam perkembangan persepakbolaan di sebuah negara. Sistem itu berdampak pada performa liga dan performa timnas negara tersebut. Kita bisa lihat bagaimana Santos menelurkan seorang pemain bertalenta sekelas Pele yang mampu membawa negaranya Brazil juara dunia, Neymar yang membawa Brazil menjuarai Confederation Cup, atau pemain-pemain hebat spanyol (Iniesta, Xavi, Pique, Torres, dan Casilas) mampu menjadikan Spanyol kampiun Eropa dan dunia. Terlihat bahwa sekolah sepakbola yang baik juga berimbas pada performa liga, yaitu liga menjadi amat kompetitif karena setiap klub punya sekolah sepakbola mumpuni, dan performa Tim Nasional Negara tersebut dimana melalui sekolah sepakbola muncul pemain lokal berkualitas untuk Tim Nasional. Sayangnya, di Indonesia masih kurang diberdayakan sekolah sepakbola. Sejauh ini, masih hanya beberapa tim yang dikenal punya pembinaan usia dini yang baik yaitu Persipura dan Persija. Dari akademi Persipura, kita bisa mengenal nama-nama besar seperti Boaz & Ortizan Sallosa, Ian Luis Kabes, Gerald Pangkali, dan Ferinando Pahabol. Dari akademi Persija, kita mengenal nama Bambang Pamungkas dan Ismed Sofyan. Alhasil, karena terlalu sedikit sekolah sepakbola yang dikembangkan, berpengaruh pada Tim Nasional Indonesia yang terkesan masih jauh dari negara-negara tetangga semisal malaysia dan Australia. Liga pun terkesan loyo karena yang bermain bagus hanyalah pemain-pemain asing yang merumput di liga Indonesia, sebut saja Ronald Fagundez, Christian Carasco, Zah Rahan, dll. Sebaliknya, hanya beberapa pemain lokal yang bisa unjuk gigi dalam persaingan dan selebihnya tenggelam dalam panasnya persaingan antar pemain asing.
4. Fans
Faktor fans ternyata besar efeknya terhadap persepakbolaan Indonesia. Fans yang ramah dan tidak anarkis membuat sepakbola bisa menjadi sebuah primadona bagi masyarakat Indonesia sendiri. Dengan begitu, para orangtua juga teryakini akan prospek sepakbola bagi anaknya di masa depan. Sayangnya, rivalitas di liga domestik membuat para fans sering bertikai, katakanlah seperti fans Persib dan Persija. The Jak (Fans Persija) dan Bobotoh (fans Persib) sudah lama bertikai yang tak jarang menimbulkan keonaran dan mengganggu jalannya liga. Liga dan sepakbola terkesan sebagai olahraga yang anarkis dimana para fans terkadang terprovokasi untuk membuat keonaran. Ini buruk untuk sistem liga sepakbola Indonesia dan buruk untuk kelanjutan pembinaan usian dini. Liga akan molor dari jadwal semula dan sekolah sepakbola akan sepi karena para orang tua enggan menitipkan anaknya di sekolah sepakbola yang di-image-kan sebagai olahraga anarki.
5. Penggunaan pemain asing yang berlebihan
Ini aspek yang sangat krusial untuk diperhatikan jika ingin melihat sepak bola Indonesia berkembang. Banyak sekali klub di Liga Indonesia yang menggunakan banyak pemain asing, bahkan ada beberapa klub yang memiliki pemain asing lebih dari setengah jumlah pemain di tim. Ini amat berdampak buruk bagi pemilihan pemain untuk timnas Indonesia. Rasanya, para pelatih klub akan memainkan pemain asing yang jauh memiliki etos permainan yang baik ketimbang pemain lokal. Hal ini membuat kemampuan pemain lokal akan menjadi berkurang dan bahkan sulit berkompetisi, dimana level mereka hanya akan sampai pada level pemain pengganti. Ini membuat pelatih timnas Indonesia akan sulit memilih pemain yang berkualitas untuk tim karena kurangnya pemain yang memiliki daya juang dan pemainan yang baik di timnya. Agaknya, kita patut belajar dari Inggris dalam hal ini, dimana Inggris sekarang ini kesulitan mencari pemain lokal muda yang bagus untuk dimasukan dalam squad utama timnas Inggris. Ketenaran Liga Inggris mengundang banyak pemain asing untuk datang ke Inggris dan bermain di liga Inggris. Inilah dasar mengapa regenerasi timnas Inggris berjalan lambat.
Itulah beberapa alasan mengapa sepak bola Indonesia agaknya sulit berkembang. Hal-hal tersebut perlu dikoreksi jika memang di dalam hati rakyat Indonesia menginginkan Tim Nasional Indonesia mampu berbicara banyak dalam kancah internasional.
https://handokokyoth.wordpress.com/2014/11/05/beberapa-alasan-mengapa-sepak-bola-indonesia-sulit-berkembang/
close
==[ Klik Close 1X ] [ Close ]==